BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada abad ke-21 ini, kita masuk ke dalam era globalisasi, di mana tidak ada batasan lagi antar negara di seluruh dunia. Saat ini, negara-negara di dunia telah terikat hubungan sehingga tercipta suatu ketergantungan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, dan masih banyak lagi aspek dalam kehidupan. Globalisasi menjadi hal yang membawa dampak dan pengaruh bagi negara, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Dari semua dampak negatif yang ditimbulkan oleh era globalisasi, terdapat satu dampak yang menjadi masalah serius di negara Indonesia. Salah satu dampak tersebut adalah terjadinya kasus perdagangan manusia. Kasus ini sudah tidak asing lagi. Banyak sekali berita yang beredar di media massa mengenai kasus perdagangan manusia. Tidak hanya negara berkembang saja yang memiliki kasus perdagangan manusia. Bahkan, pada negara-negara maju pun kasus seperti ini sangat sering ditemui. Masalah ini merupakan masalah yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Isu mengenai perdagangan manusia yang diangkat akan terus dibicarakan sepanjang waktu. Hal tersebut dikarenakan masalah mengenai perdagangan manusia sudah sangat mengakar dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini, perdagangan manusia menjadi salah satu tema yang patut dibicarakan. Sikap dari berbagai macam kalangan yang beragam dalam menghadapi masalah perdagangan manusia. Serta adanya pro dan kontra yang datang dari semua kalangan dalam masyarakat Indonesia membuat permasalahan ini harus diluruskan. Perdagangan manusia membawa dampak buruk bagi semua kalangan masyarakat. Maka, hal ini memberikan tantangan kepada penulis dan pembaca sebagai masyarakat Indonesia, masyarakat yang madani, dan juga sebagai seseorang yang mempunyai wawasan untuk menyikapi hal tersebut secara bijak dan juga rasional.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pengertian dari perdagangan manusia?
2. Apa saja bentuk-bentuk perdagangan manusia?
3. Apa penyebab terjadinya perdagangan manusia di Indonesia?
4. Apakah akibat terjadinya perdangan manusia di Indonesia?
5. Bagaimanakah tanggapan pemerintah Indonesia terhadap kasus perdagangan manusia di Indonesia?
6. Bagaimana solusi untuk mengatasi perdagangan manusia di Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk mengajak semua kalangan untuk memahami situasi kasus perdagangan manusia yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya itu, penulis juga mengajak semua kalangan untuk memahami apa saja penyebab yang mendorong terjadinya kasus perdagangan manusia serta akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Selain itu, tujuan penulis adalah untuk membangun kepedulian semua kalangan masyarakat terhadap kasus perdagangan manusia di Indonesia. Wujud kepedulian terhadap kasus ini dapat dibangun dengan cara ikut berpartisipasi dalam pencarian solusi untuk masalah perdagangan manusia yang terjadi di wilayah Indonesia.
1.4. Alasan Memilih Judul
Dari beberapa tema yang ada pada materi kuliah PPKn ini, penulis mendapatkan tema mengenai kriminalitas. Dari tema tersebut, penulis memilih topik mengenai perdagangan manusia. penulis sengaja memilih topik ini karena menurut penulis, pada saat ini perdagangan manusia merupakan masalah yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Tema ini mengangkat kondisi masyarakat, corak hidup masyarakat, serta realita apa saja yang selama ini terjadi. Penulis berpendapat bahwa isu mengenai perdagangan manusia akan terus dibicarakan sepanjang waktu. Hal itu karena masalah ini sudah menjadi masalah yang sukar untuk diselesaikan, apalagi untuk diselesaikan sampai ke pangkal masalahnya. Dari tema perdagangan manusia, penulis memilih judul Perdagangan Manusia di Indonesia. Selain karena penulis hidup di Indonesia, penulis juga merasa bahwa kasus perdagangan manusia banyak sekali terjadi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perdagangan Manusia
Berdasarkan Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak (2000), suplemen Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Melawan Organisasi Kejahatan Lintas Batas, memasukkan definisi perdagangan manusia sebagai berikut. Pertama, "Perdagangan Manusia" adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Kedua, persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam bagian pertama tidak akan relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam bagian digunakan. Ketiga; perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai "perdagangan manusia" bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam bagian pertama pasal ini. Terakhir, definisi "anak" adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.
Dalam Perda Anti Trafiking BAB I disebut pengertian tentang trafiking. Trafiking adalah rangkaian kegiatan dengan maksud eksploitasi terhadap perempuan dan atau anak yang meliputi kegiatan perdagangan manusia (trafiking) khususnya perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafiking, yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dll), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
2.2. Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia di Indonesia
Ada beberapa bentuk perdagangan manusia yang ditemukan di Indonesia. Bentuk pertama adalah buruh migran. Buruh migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota (rural-to-urban migration), maka pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan “orang desa yang bekerja di kota.” Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena persoalan TKI ini seringkali menyentuh para buruh wanita yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI biasanya diidentikan dengan Tenaga Kerja Wanita (TKW atau Nakerwan).
Bentuk kedua adalah perdagangan anak. Perdagangan anak dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan perekrutan, transportasi baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau dengan pelibatan hutang untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas di mana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang tersebut pertama kali terjadi. Namun tidak jarang perdagangan anak ini ditujukan pada pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak.
Bentuk ketiga adalah tindakan prostitusi. Secara harfiah, prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Secara hukum, prostitusi didefinisikan sebagai penjualan jasa seksual yang meliputi tindakan seksual tidak sebesar kopulasi dan hubungan seksual.Pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk uang atau modus lain kecuali untuk suatu tindakan seksual timbal balik. Banyak yang merasa bahwa jenis definisi dengan penegakan semua dukungan bahasa termasuk selektif hukum sesuai dengan keinginan dan angan-angan dari badan penegak terkemuka untuk mengontrol mutlak perempuan. Prostitusi dibagi ke dalam dua jenis, yaitu prostitusi di mana anak perempuan merupakan komoditi perdagangan dan prostitusi di mana wanita dewasa sebagai komoditi perdagangan. Prostitusi anak dapat diartikan sebagaitindakan mendapatkan atau menawarkan jasa seksual dari seorang anak oleh seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan lainnya.
Bentuk lainnya adalah perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan. Biasanya, praktik perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan dilakukan oleh pria warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia. Hal yang membendakan antara perbudakan berkedok pernikajan dengan pengantin pesanan adalah tidak semua kasus pengantin pesanan berakhir dengan nasih yang mengerikan.
Pada kasus trafiking, ada beberapa arti dan pengertian istilah penting yang dipakai sesuai definisi trafiking. Istilah-istilah tersebut adalah :
1. eksploitasi, yaitu memanfaatkan seseorang secara tidak etis demi kebaikan atau keuntungan seseorang.
2. eksploitasi pekerja, yaitu mendapat keuntungan dari hasil kerja orang lain tanpa memberikan imbalan yang layak.
3. perekrutan, yaitu tindakan mendaftarkan seseorang untuk suatu pekerjaan atau aktivitas.
4. agen, yaitu orang yang bertindak atas nama pihak lain, seseorang yang
memfasilitasi proses migrasi (pemindahan) baik migrasi sah maupun tidak sah.
5. broker / makelar, yaitu seseorang yang membeli atau menjual atas nama orang lain.
6. kerja paksa dan praktek serupa perbudakan, yaitu memerintahkan seseorang untuk bekerja atau memberikan jasa dengan menggunakan kekerasan atau ancaman, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang dominan, penjeratan utang, kebohongan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya. Kerja paksa dapat dilakukan demi keuntungan pemerintah, individu pribadi, perusahaan atau asosiasi.
7. penghambaan, yaitu keadaan di mana seseorang berada di bawah penguasaan seorang pemilik atau majikan; atau hilangnya kebebasan pribadi, untuk bertindak sebagaimana yang dikehendakinya.
8. perbudakan, yaitu keadaan di mana seseorang terbelenggu dalam penghambaan sebagai milik seorang penguasa budak atau suatu rumah tangga; atau praktik untuk memiliki budak; atau metode produksi di mana budak merupakan tenaga kerja pokok.
9. perbudakan seksual, yaitu ketika seseorang memiliki orang lain dan mengeksploitasinya untuk aktivitas seksual.
10. pekerja seks komersial, yaitu seseorang yang melakukan tindakan seksual untuk memperoleh uang.
11. pekerja hiburan, yaitu seseorang yang dipekerjakan di bidang jasa
layanan / service dengan kondisi kerja eksploitatif, pornaaksi / striptease dan kondisi rentan.
2.3. Penyebab Perdagangan Manusia di Indonesia
Beberapa faktor tertentu dapat mendorong seseorang untuk melakukan situasi psikologis inilah yang dapat menjadi salah satu penyebabnya. Penyebab-penyebab inilah yang yang mendorong pihak-pihak tertentu sehingga terjadilah perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang intensif dari pihak-pihak terkait, misalnya aparat penegak hukum dan pemerintah Republik Indonesia. Jadi, sangat tidak mengherankan jika para korban trafiking terus berjatuhan. Bahkan pada faktanya, rentetan korban kemungkinan besar bertambah apabila tidak ditangani dengan serius.
Trafiking dapat terjadi karena berbagai macam faktor, kondisi, pemicu, serta persoalan yang berbeda-beda. Faktor pertama yang mempengaruhi hal ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat itu sendiri terhadap bahaya trafiking. Kesadaran ini tidak hanya didapatkan dari mereka yang telah menjadi korban perdagangan manusia, kesadaran mengenai trafiking seharusnya juga didapatkan dari mereka yang menjalankan atau terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan manusia. Kurangnya perhatian mengenai trafiking dapat disebabkan karena kurangnya kewaspadaan dan kurangnya informasi. Selain itu, pengetahuan yang terbatas mengenai motif-motif dari perdagangan manusia juga menjadi salah satu penyebab kurangnya perhatian mengenai trafiking.
Faktor kedua adalah faktor ekonomi. Permasalahan ini sering sekali menjadi pemicu utama terjadinya kasus perdagangan manusia. Tanggung jawab yang besar untuk menopang hidup keluarga, keperluan yang tidak sedikit sehingga membutuhkan uang yang tidak sedikit pula, terlilit hutang yang sangat besar, dan motif-motif lainnya yang dapat memicu terjadinya tindakan perdagangan manusia. Tidak hanya itu, hasrat ingin cepat kaya juga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut.
Faktor ketiga adalah kebudayaan masyarakat setempat. Memang tidak secara gamblang terlihat bukti mengenai tindakan perdagangan manusia. Namun pada kebudayaan masyarakat tertentu, terdapat suatu kebiasaan yang menjurus pada tindakan perdagangan manusia. Sebagai contoh, dalam hierarki kehidupan pada hampir semua kebudayaan, memang sudah kodrat perempuan untuk tidak mengejar karir. Mereka “ditakdirkan” untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak, serta bersolek. Kalau memang diperlukan perempuan bertugas untuk mencari nafkah tambahan bagi keluarganya. Sedangkan laki-laki dalam hierarki kehidupan pada mayoritas kebudayaan, berfungsi sebagai pencari nafkah, dan juga pemimpin setidaknya bagi keluarganya sendiri. Namun pada kenyataannya, tidak semua keluarga tercukupi kebutuhannya hanya dari pendapatan utama, yaitu pendapatan laki-laki. Tidak semua dapat sejahtera hanya dengan satu sumber penghasilan. Biasanya, hal inilah yang mendorong kaum perempuan untuk tetap melangsungkan kehidupan keluarga mereka sehingga mereka melakukan migrasi dengan menjadi tenaga kerja.
Contoh lainnya, seorang anak mempunyai peran dalam sebuah keluarga. Kepatuhan terhadap orangtua, rasa tanggung jawab terhadap masa depan orangtua mereka, atau situasi ekonomi keluarga yang jauh dari cukup terkadang memaksa anak-anak ini untuk bekerja. Terkadang hanya bekerja di sekitar lingkungan. Namun tidak sedikit juga yang melakukan migrasi untuk mendapatkan uang.
Contoh terakhir adalah kasus pernikahan dini. Pernikahan dini mempunyai dampak yang serius bagi pelakunya, terlebih bagi kaum perempuan. Mereka tidak hanya diintai oleh bahaya kesehatan, namun juga kesempatan menempuh pendidikan yang juga semakin menjadi terbatas bagi mereka. Hal itu berdampak pula pada kesempatan kerja yang terbatas sehingga situasi ekonomi mereka semakin terjepit. Pernikahan dini juga menghambat perkembangan psikologis pelakunya, sehingga hal ini menimbulkan gangguan perkembangan pribadi, rusaknya hubungan dengan pasangan. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pula perceraian dini. Pada perempuan, apabila mereka sudah menikah sudah dianggap sebagai wanita dewasa. Apabila sewaktu-waktu mereka bercerai, mereka tetap dianggap sudah dewasa. Mereka inilah yang rentan menjadi korban tindakan perdagangan manusia yang dapat disebabkan karena kerapuhan ekonomi, emosi yang masih labil, dan lain-lain.
Faktor selanjutnya adalah pengetahuan masyarakat yang terbatas. Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki lebih sedikit keahlian daripada orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan kesempatan kerja yang semakin sedikit sehingga akan sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Dengan iming-iming bisa cepat kaya, orang-orang dengan situasi seperti ini dapat mudah untuk direkrut dan dapat menjadi korban perdagangan manusia.
Faktor keenam adalah kurangnya pencatatan / dokumentasi. Dokumentasi ini meliputi akta kelahiran atau surat keterangan kelahiran. Karena hal ini sangat minim dilakukan, maka akan sangat mudah untuk melakukan pemalsuan identitas. Sampai saat ini, masih banyak orangtua yang tidak mencatatkan kelahiran anaknya di kantor catatan sipil. Para orangtua melakukan hal tersebut karena mereka menganggap bahwa untuk mencatatkan kelahiran anak-anak mereak dibutuhkan sejumlah uang yang besar. Akibat yang ditimbulkan dari hal ini adalah anak-anak tersebut tidak akan tercatat oleh negara. Apabila sewaktu-waktu mereka menjadi korban perdagangan manusia, mereka akan sangat sulit untuk mendapatkan bantuan dari pihak terkait.
Faktor terakhir adalah lemahnya aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan penjagaan terhadap indikasi terjadinya kasus perdagangan manusia. Sampai saat ini, para pelaku kasus perdagangan manusia masih dapat bebas berkeliaran tanpa adanya pengawasan yang ketat dari aparat penegak hukum. Hal inilah yang membuat kasus perdagangan manusia seolah-olah dihalalkan dan tidak ada titik terang mengenai penyelesaiannya.
2.4. Akibat Perdagangan Manusia
Para korban perdagangan manusia mengalami banyak hal yang sangat mengerikan. Perdagangan manusia menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Tidak jarang, dampak negatif hal ini meninggalkan pengaruh yang permanen bagi para korban. Dari segi fisik, korban perdagangan manusia sering sekali terjangkit penyakit. Selain karena stress, mereka dapat terjangkit penyakit karena situasi hidup serta pekerjaan yang mempunyai dampak besar terhadap kesehatan. Tidak hanya penyakit, pada korban anak-anak seringkali mengalami pertumbuhan yang terhambat.
Sebagai contoh, para korban yang dipaksa dalam perbudakan seksual seringkali dibius dengan obat-obatan dan mengalami kekerasan yang luar biasa. Para korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik akibat kegiatan seksual atas dasar paksaan, serta hubungan seks yang belum waktunya bagi korban anak-anak. Akibat dari perbudakan seks ini adalah mereka menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, termasuk diantaranya adalah HIV / AIDS. Beberapa korban juga menderita cedera permanen pada organ reproduksi mereka.
Dari segi psikis, mayoritas para korban mengalami stress dan depresi akibat apa yang mereka alami. Seringkali para korban perdagangan manusia mengasingkan diri dari kehidupan sosial. Bahkan, apabila sudah sangat parah, mereka juga cenderung untuk mengasingkan diri dari keluarga. Para korban seringkali kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Sebagai bahan perbandingan, para korban eksploitasi seksual mengalami luka psikis yang hebat akibat perlakuan orang lain terhadap mereka, dan juga akibat luka fisik serta penyakit yang dialaminya. Hampir sebagian besar korban “diperdagangkan” di lokasi yang berbeda bahasa dan budaya dengan mereka. Hal itu mengakibatkan cedera psikologis yang semakin bertambah karena isolasi dan dominasi. Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang sangat buruk serta terampasnya hak-hak mereka dimanfaatkan oleh “penjual” mereka untuk menjebak para korban agar terus bekerja. Mereka juga memberi harapan kosong kepada para korban untuk bisa bebas dari jeratan perbudakan.
2.5. Tindakan Pemerintah Indonesia dalam Menangani Kasus Perdagangan Manusia
Pemerintah Indonesia turut meratifikasi protokol PBB tersebut dan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang disahkan pada tanggal 30 Desember 2002 melalui Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002. RAN tersebut merupakan landasan dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak (Kementerian Pemberdayaan Perempuan/KPP, RAN, 2002, hlm. 4). Pengesahan RAN ditindaklanjuti dengan pembentukan gugus tugas anti trafiking di Tingkat Nasional. Untuk menjamin terlaksananya RAN di tingkat propinsi dan kabupaten / kota maka penetapan peraturan dan pembentukan gugus tugas. Penetapam peraturan dan pembentukan gugus tugas ini dibuat berdasarkan keputusan kepala daerah masing-masing, termasuk anggaran pembiayaannya (KPP/RAN, hlm8-9).
Dalam RAN (hlm 14-15) diberikan 29 rujukan landasan hukum yang relevan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat dipakai dalam upaya menghapus trafiking, antara lain: Undang-Undang (UU) No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); UU no.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; UU no.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; UU no.19 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO (International Labor Organisation) no.105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa; UU no. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvesi ILO No.182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan rujukan-rujukan relevan lainnya.
Sampai saat ini, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap kasus perdagangan manusia semakin besar. Usaha pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah perdagangan manusia sudah semakin terlihat nyata. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah kasus yang ditangani oleh aparat hukum. Selain itu, saat ini sudah banyak pelaku tindakan perdagangan manusia yang masuk penjara dan diproses secara hukum. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Antiperdagangan Manusia di Indonesia pada tahun 2007, jumlah kasus usaha perdagangan manusia yang ditangani oleh aparat hukum meningkat dari 109 kasus pada tahun 2007 menjadi 129 pada tahun 2008.
Menurut data yang diperoleh, hukuman yang dijatuhkan untuk pelaku tindakan perdagangan manusia meningkat dari 46 kasus pada tahun 2007 menjadi 55 kasus pada tahun 2008. Namun, eksploitasi yang diduga dilakukan oleh perusahaan besar masih menjadi masalah serius, walaupun aparat kepolisisan dan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah berkali-kali melakukan operasi untuk memecahkan kasus ini.
Penegakan hukum terhadap aparat yang ikut melakukan tindakan mendukung perdagangan manusia juga masih cukup memprihatinkan. Petugas yang terlibat langsung dalam usaha perdagangan manusia ataupun yang hanya memberikan perlindungan terhadap bisnis tersebut masih banyak yang belum ditindak. Sementara itu, pemerintah Indonesia selalu berusaha untuk meningkatkan pelayanan sekaligus perlindungan terhadap warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Salah satu contoh komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dapat dilihat dari tindakamn penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia.
2.6. Solusi Masalah Perdagangan Manusia di Indonesia
Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan, dan situasi psikologis adalah penyebab utama terjadinya perdagangan manusia. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan agar kasus perdagangan manusia dapat berkurang. Solusi pertama adalah meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan pemuka agama dan pemerintah. Apabila kesadaran masyarakat akan bahaya dari perdagangan manusia sudah muncul, maka diharapkan tingkat perdagangan manusia akan sdikit berkurang.
Solusi kedua adalah memperluas tenaga kerja, fokus pada program Usaha Kecil Menengah (UKM), serta pemberdayaan perempuan. Apabila lapangan kerja di Indonesia sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat, maka keinginan untuk bermigrasi dan bekerja di luar negeri akan berkurang dan resiko perdagangan manusia pun akan semakin berkurang juga.
Solusi selanjutnya adalah meningkatkan pengawasan di setiap perbatas NKRI serta meningkatkan kinerja para aparat penegak hukum. Kejahatan seperti perdagangan manusia dapat saja terjadi. Kemungkinan untuk terjadi akan semakin besar apabila tidak ada pengawasan yang ketat oleh aparat yang terkait. Apabila pengawasan sudah ketat dan hukum sudah ditegakkan, maka kasus perdagangan manusia dapat berkurang.
Solusi lainnya adalah memberikan pengetahuan dan penyuluhan seefektif mungkin kepada masyarakat. Untuk dapat mencegah masalah ini, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi masalah yang rutin mengenai perdagangan manusia kepada masyarakat. Dengan sosialisasi secara terus-menerus, masyarakat akan mengetahui bahaya masalah ini dan bagaimana solusinya. Pendidikan tentu saja tidak hanya diberikan kepada masyarakat golongan menengah ke atas. Justru pendidikan tersebut harus diberikan kepada kaum kelas bawah, karena mereka rentan sekali menjadi korban praktik perdagangan manusia. perdagangan manusia seringkali terjadi pada masyarakat dengan taraf pendidikan yang cukup rendah. Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.
Setelah masyarakat mengetahui masalah ini, saatnya mereka memberitahu keepada orang lain yang belum tahu. Apabila informasi seperti ini tidak disebarluaskan, maka rantai masalah ini tidak akan pernah terputus. Sudah menjadi kewajiban masyarakan untuk menyampaikan apa yang terjadi pada orang lain, terlebih lagi orang-orang yang dianggap berpotensi mengalami tindakan perdagangan manusia. Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya permasalahan ini tidak akan menyadari bahwa hal ini mungkin telah terjadi pada orang lain di sekitar mereka.
Solusi terakhir adalah berperan aktif untuk mencegah. Setelah mengetahui dan berusahaa berbagi dengan masyarakat yang lain, kita juga dapat berperan aktif untuk menanggulangi permasalahan ini. Berperan aktif dapat dilakukan dengan cara melaporkan kasus perdagangan manusia yang diketahui kepada pihak yang berwajib. Masyarakat juga bisa mengarahkan keluarganya untuk lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang tidak dikenal maupun yang sudah dikenal. Mungkin hal yang dilakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan sederhana, namun apabila semua orang bergerak untuk turut melakukannya, bukan tidak mungkin masalah ini akan teratasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari semua pembahasan yang telah penulis utarakan, ada beberapa kesimpulan yang bisa didapat, yaitu :
1. Perdagangan ,manusia merupakan segala sesuatu bentuk transaksi yang melibatkan manusia sebagai komoditi perdagangan.
2. Perdagangan manusia mempunyai banyak bentuk dan jenis yang dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan gender.
3. Ada banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan perdagangan manusia.
4. Faktor utama tindakan perdagangan manusia (baik korban maupun pelaku) adalah faktor ekonomi.
5. Akibat dari perdagangan manusia dapat berupa gangguan fisik, gangguan psikis, serta gangguan sosial.
6. Sejauh ini, tindakan pemerintah terhadap kasus perdagangan manusia masih jauh dari maksimal. Namun kemajuan akan usaha pemerintah sudah terlihat.
7. Ada banyak solusi yang yang dilakukan agar kasus perdagangan manusia dapat diatasi. Namun solusi yang paling tepat adalah komunikasi yang baik.
3.2. Saran
3.2.1. Bagi Masyarakat
Agar tidak terseret ke dalam perdagangan manusia, sebaiknya masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap semua orang. Kewaspadaan itu harus ditujukan baik kepada orang yang belum dikenal maupun kepada orang yang telah dikenal. Selain itu, masyarakat juga harus selalu berpegang teguh pada ajaran agama dan moral yang dianut. Hal itu perlu dilakukan sebagai antisipasi dari segala bentuk tipu daya para pelaku perdagangan manusia.
3.2.2. Bagi Penulis
Sebagai bentuk partisipasi aktif terhadap pemberantasan kasus perdagangan manusia, sebaiknya penulis juga ikut menerapkan sikap yang diopinikan dalam makalah ini. Walaupun tidak dapat berupaya banyak untuk memberantas kasus perdagangan manusia di Indonesia, sebaiknya penulis mencari sebanyak-banyaknya informasi mengenai perkembangan kasus ini. Sebisa mungkin penulis sebaiknya ikut berperan untuk mencari solusi mengenai masalah ini. Setidaknya untuk mengurangi tingkat kasus perdagangan manusia ini.
Sumber : Here!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar